skip to main |
skip to sidebar
Moral Generasi Ditangan Orang Tua
Oleh : Muhammad Afdhal Sulaiman
Dulu ketika saya masih kanak-kanak, abi saya selalu memangku saya
setiap beliau berzikir dan berdoa setelah shalat, kecuali zikir shalat
subuh saja yang tidak saya ikuti dikarenakan saya masih terlelap. Setiap
gerak-gerik saya diwaktu kecil selalu abi kontrol dan diawasi,
kehidupan yang dikontrol bak narapidana itu terus berlangsung hingga
saya berumur 12 tahun. Abi selalu mengontrol shalat saya ketika umur
saya menginjak tujuh tahun, dan abi mulai memarahi apabila saya masih
meninggalkan shalat ketika umur saya sepuluh tahun lebih. Selain shalat
abi juga mengajari saya membaca al-quran serta terus mengontrol
pelajaran sekolah. Dulu saya merasa kehidupan saya benar-benar seperti
robot yang selalu dikontrol dan diawasi sehingga tidak jarang saya
mengeluh dan selalu mengadu keibu saya. Semuanya benar-benar kujalani
dengan penuh keterpaksaan, meskipun smua itu dilakukan dengan sedikit
terpaksa karena takut dimarahi oleh abi tapi juga tidak sedikit semua
itu membuahkan hasil, seperti saya selalu menjadi juara kelas. semua
yang saya dapatkan dari pendidikan abi itu memang memuaskan meskipun
keterpaksaan masih dijadikan embel-embel dalam meraih semua itu.
Dari cerita pribadi saya diatas saya baru bisa menyadari bahwa apa yang
telah abi saya ajarkan dulu benar-benar bermanfaat bagi saya. orangtua
mendidik kita seperti seseorang yang mengumpulkan butiran-butiran emas
yang berserakan dalam hamparan kalam dengan menggunakan air raksa.
emas-emas itu menggambarkan kelebihan-kelbihan yang cemerlang dalam diri
kita, sedang kan air raksa itu menggambarkan alat untuk mengumpulkan
kemampuan-kemampuan yang ada dalam diri kita, yaitu smua kemampuan kita
dikeluarkan dengan paksaan oleh orang tua kita, begitulah analogy yang
saya anggap sama dengan bagaimana cara orang tua mendidik kita dimasa
kecil. Semua dibangun dengan paksa, semua dibangun dengan tegas dan
semuanya juga dibangun dengan kedisiplinan yang bagus sehingga
terciptalah generasi-generasi yang berkarakter dan berakhlaq mulia.
Setelah saya banyak membaca dari buku-buku dan artikel yang membahas
tentang pentingnya membangun generasi bermoral, berkarakter dan
berprestasi baru saya sadari betapa penting pendidikan yang telah orang
tua saya berikan dulu, sesungguhnya pendidikan itu benar-benar dari masa
kanak-kanak bahkan dianjurkan dari kandungan. Semua itu dibuktikan oleh
banyak fakta yang dapat kita lihat didunia ini.
Taukah kita
buku yang berjudul “10 bintang al-quran”? buku yang menceritakan
pengalaman ibu wirianingsih dan bapak mutammimul ula dalam mendidik 10
anaknya menjadi bintang al-quran. orangtua 10 bintang itu adalah orang
tua yang super sibuk dengan dakwah. Dibalik kesibukannya itu mereka bisa
mentarbiyah anaknya menjadi generasi qurani sebagaimana yang diharapkan
agama. Semua anaknya bisa menghafal al-quran dikarenakan pendidikan
yang dimulai sedini munkin bahkan juga dimulai sejak proses janin,
sehingga tidak heran jika anaknya ada yang hafal beberapa surat pada
umur 2 tahun. Ibu wirianingsih pernah mengatakan bahwa orang tua
dilarang berdakwah diluar rumah jika urusan dirumah masih belum selesai.
sesuatu yang belum selesai disini maksudnya adalah urusan pendidikan
anak. Begitulah cara ibu wirianingsih membedakan urusan mana yang
penting dan mana yang “lebih penting”, sesungguhnya urusan pendidikan
anak itu berada pada level yang terpenting.
Ketika saya
mengikuti acara talk show antara anggota mahasiswa jambi bersama bapak
duta besar RI mesir dirumah jambi, dari panjangnya kalimat yang bapak
dubes ucapkan ada satu kalimat yang saya fikir sangat menarik dalam
membiasakan sesuatu yang baik dalam diri. “segala sesuatu yang dilakukan
lebih dari 170 kali, ia akan menjadi kebiasaan yang mendarah daging
sehingga kita merasa kurang apabila kebiasaan itu kita tinggalkan
walaupun hanya sekali saja”. saya menganggap kalimat ini sangat cocok
dalam membiasakan akhlaq yang baik dalam pribadi anak-anak, tidak
masalah jika awalnya orang tua memaksakan anak-anaknya melakukan hal-hal
yang baik hingga berulang kali, semua itu akan berefek positif jika
kebiasaan itu sudah sampai dititik dimana ketika itu anak-anak sudah
mulai menyadari dan merasakan betapa penting memerankan diri sebagai
insan yang bermoral dan berkarakter. seperti membiasakan shalat kapada
anak atau membiasakan anak-anak untuk menghafal quran. kita tidak bisa
mengharapkan anak-anak melakukan semua itu dengan keikhlasan karena
Allah karena mana ada anak-anak dibawah umur bisa melakukan semua itu
karena keridhoan Allah . mereka bisa melakukan itu semua biasanya karena
mereka diiming-imingi dengan sesuatu yang mereka suka, contoh mereka
akan diberi uang lima puluh ribu jika bisa menghafal surat an-nas.
Munkin dengan memberikan anak sesuatu yang ia suka dapat memacu anak
dalam meraih prestasi atau mebiasakan sesuatu hal yang baik.
Orang bijak mengatkan “tanaman itu akan tumbuh baik tergantung tanah dan
sikap pemilik tanaman tersebut”. Saya menganalogikan dalam mendidik
anak sama dengan menjaga pertumbuhan tanaman, dalam mendidik anak sangat
erat hubungannya dengan lingkungan tempat ia tumbuh, dalam hal ini ibu
dan ayah adalah lingkungan awal tempat tumbuhnya anak. Sikap ibu dan
ayah lah yang dapat mempengaruhi anak-anak dalam segala hal, seperti
perkembangan akhlaq, kecerdasan serta wawasan. Jadi tidak heran apabila
orang tua yang pertama disalahkan ketika anak mereka melakukan hal yang
tidak baik diluar rumah. Orangtua lah yang pertama berperan dalam
pembentukan karakter anak, dan orangtualah yang bisa menjadikan anak itu
baik atau buruk. Rasulullah bersabda dalam haditsnya:
ما من مولود يولد إلا يولد على الفطرة, فأبواه يهودانه, أو ينصرانه, أو يمجسانه.
Artinya : tidaklah diantara anak yang dilahirkan itu kecuali dilahirkan
dengan fithrahnya (islam), maka orangtuanyalah yang menjadikan ia
yahudi, menjadikan ia nasrani atau majusi.
Dalam hadis ini
dijelaskan bahwa orangtua lah yang merubah kesucian anak menjadi yahudi,
nasrani atau majusi. Pemahaman dalam hadis ini bisa disamakan dalam
pendidikan anak, anggap saja agama seorang anak tidak akan berubah, akan
tetapi siapa yang menjamin kesucian akhlaq dapat dipertahankan?
Tentulah peran orang tua yang sangat dibutuhkan dalam menjaga semua itu
hingga sampai saatnya dimana ketika itu anak bisa memikirkan sendiri
mana yang baik dan mana yang buruk. Kita berharap semua orang tua
mempunyai kesadaran untuk bisa mempertahankan generasi muda yang
bermoral, hendaknya para orangtua merasa cemas apabila generasi
kegenerasi kian memburuk. Sebagaimana firman Allah :
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا
Artinya : Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata
yang baik. (QS. An-nisa 9)
saudaraku…
apabila kita melihat
orang-orang besar disekeliling kita, baik itu cendikiawan, imam besar,
ilmuan yang telah meninggalkan banyak karya, ataupun orang kaya yang
meninggalkan banyak harta untuk agama ini, atau insan-insan yang
terkenal dengan ibadahnya. Maka ketahuilah bahwasanya dibelakang mereka
ada orang tua yang bijaklah yang telah mendukung dan mendidik mereka.
Wallahua’lam.