Oleh : Muhammad Afdhal Sulaiman
Pagi ini saya begitu tergelitik
untuk membahas tema "ketika
tindakan pejabat publik begitu asing di mata masyarakat ". Apa tindakan yang saya maksud?
Tadi malam saya baru menonton video wawancara wartawan dengan seseorang
yang katanya ia adalah ayah kandung dari Darin Muntaza yang sangat heboh
diberitakan di media terkait kasus impor daging sapi yang menimpa Ust. Luthfi
Hasan Ishaq. Di video tersebut sangat jelas ayah Darin mengatakan bahwa Darin
Muntaza sudah dinkahi oleh Ust Luthfi pada akhir juni 2012 kemaren yang ketika
itu Darin masih duduk di kelas III SMK.
Lalu apa yang mau saya kritisi
dalam hal ini? Saya tidak
mengkritis apakah boleh tidaknya menikahi seorang gadis berumur 18 tahun, karena dilihat dari kacamata agama
itu sah-sah saja, bahkan
rasulullah menikahi a'isyah yang ketika itu a'isyah berumur 9 tahun. Kabarnya
juga Darin adalah istri ketiga
dari Ust Luthfi. Dalam hal ini
saya juga tidak mengkritisi apakah boleh menikah hingga tiga kali, karena bila
dilihat dari kacamata islam itu masih sah dan sangat jelas dipaparkan oleh Al-quran, bahkan menikah hingga 4 kali pun dibolehkan oleh agama
asalkan bisa adil terhadap ke empat istrinya (saya tsiqoh terhadap Ust. Luthfi bahwa beliau adalah suami yang adil
in sya Allah).
Disini saya ingin melihat pernikahan ini di mata hukum yang berlaku di
indonesia dan pandangan masyarakat. Sekarang pemahaman agama di kalangan masyarakat alhamdlillah sudah mulai mantap dan
sudah banyak bisa menerima dan memahami hal-hal yang tabu dalam pandangan masyarakat seperti poligami. Lalu bagaiman
dengan nikah siri? Nikah yang biasanya tak ada catatan resmi di KUA sehingga
pernikahan itu tak dianggap ada di mata hukum jika ada permasalahan yang tak
diinginkan terjadi dan berimplikasi terhadap buruknya pandangan masyarkat akan
hal itu. karena penilaian masyarakat sangat simpel dan sangat sederhana, yaitu
jika tindakan pejabat tak sesuai hukum maka siap-siap saja dipandang sinis oleh
publik. Terlebih lagi politisi dari sebuah partai dakwah yang membawa nama
agama.
Saya fikir Ust. Luthfi yang
backgroundnya seorang da'i sekaligus politisi atau pejabat pablik dari sebuah
partai dakwah itu tidak selayaknya melakukan pernikahan di bawah tangan seperti
itu. Semestinya beliau seorang da'i yang sudah mengekspansi area dakwahnya
hingga parlemen harus berbuat sesuai dengan hukum yang ada di indonesia.
Selayaknya beliau menikah dengan jalan resmi sehingga ia diakui di depan hukum.
"Terus, Permasalahannya adalah
beliau menikahi seorang gadis yang masih berstatus pelajar yang dalam hukum
indonesia dilarang pelajar SMA/SMP/SD berstatus seorang istri atau suami".
Jadi pantas donk Ust Luthfi menikahinya dengan nikah siri agar status
pelajarnya Darin
tetap berjalan? Lagi-lagi itu adalah tindakan yang salah. Jika
benar-benar saling suka antara mereka
apa salahnya seorang ustad sedikit sabar menunggu Darin hingga tamat
sekolah karena menimbang dari Zhon-zhon yang buruk dari masyarakat
terhadap beliau.
Kenapa harus begitu hati-hatinya seorang pejabat dalam
bertindak? Yeaaaah...karena tindakan mereka melibatkan persepsi masyarakat terhadap mereka
sendiri. Apalagi seorang ustad dari partai yang target politiknya bukan
hanya kekuasaan saja, akan tetapi berpolitik yang ingin mengislamikan sistim
politik atau bisa dikatakan dakwah di area politik. Seharusnya bagi politisi
yang membawa nama agama melakukan perbuatan yang sah di depan agama dan sah di
depan Undang-undang negara. Karena apabila mereka melanggar salah satu keduanya
akan berakibat fatal dengan targetnya adalah dakwah.
Kader Dakwah harus menjadi role
mode bagi ummat. jngan sampai berdakwah diembel-embeli dengan tindakan-tindakan
yang hanya bisa membuat dakwah itu sendiri dipandang sebelah mata oleh
masyarakat meskipun tindakan tersebut masih sesuai jika dilihat dari kacamata
agama. Terlebih lagi sebuah partai
dakwah. Karena politik mereka berjalan di atas dua jalur rel hukum yang searah.
Yaitu Hukum islam dan Hukum yang berlaku di indonesia.